A. Respon imun terhadap mikroorganisme
Bakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit melalui beberapa mekanisme yaitu: 1. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi jaringan di tempat infeksi Contoh: kokus piogenik yang sering menimbulkan infeksi supuratif yang hebat. 2. Produksi toksin yang menghasilkan berbagai efek patologik Toksin dapat berupa endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin yang merupakan komponen dinding bakteri adalah suatu lipopolisakarida yang merupakan stimulator produksi sitokin yang kuat, suatu ajuvan serta aktivator poliklonal sel limfosit B. Sebagian besar eksotoksin mempunyai efek sitotoksik dengan mekanisme yang belum jelas benar. Contoh: • Toksin difteri menghambat sintesis protein secara enzimatik serta menghambat faktor elongasi-2 yang diperlukan untuk sintesis semua peptida. • Toksin kolera merangsang sintesis AMP siklik (cAMP) oleh sel epitel usus yang menyebabkan sekresi aktif klorida, kehilangan cairan serta diare yang hebat. • Toksin tetanus merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor endplate pada neuromuscular junction yang menyebabkan kontraksi otot persisten yang sangat fatal bila mengenai otot pernapasan. • Toksin klostridium dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat menghasilkan gas gangren. Respons imun terhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi bakteri serta netralisasi efek toksin. Terdapat 3 mekanisme respon imun terhadap bakteri ekstraseluler: 1. Reaksi nonspesifik Tubuh memiliki imunitas bawaan ( innate immunity ) yang merupakan garis pertahanan terdepan dari sistem imun setelah kulit dan mukosa. Dalam sistem imunitas bawaan ini PNM dan makrofag memegang peran yang cukup penting. Sel-sel PNM sebagai fagosit yang predominan dalam sirkulasi adalah sel yang pertama tiba di lokasi infeksi karena tertarik oleh sinyal faktor kemotaksis yang dikeluarkan oleh bakteri, neutrofil atau makrofag yang telah lebih dulu berada di tempat infeksi ( jadi merupakan mekanisme umpan balik ) atau dilepaskan oleh komplemen. Sel PNM sangat peka terhadap faktor kemotaksis tersebut melakukan adhesi pada endotel atau jaringan lain maupun pada dinding makroba. Kemampuan adhesi PNM bertambah karena sinyal tersebut juga merangsang ekspresi reseptor Fc maupun reseptor komplemen pada permukaan sel. Selanjutnya PNM melakukan diapedesis untuk tiba ditempat infeksi lalu menangkap dan menelan mikroba kemudian membunuhnya. Proses fagositosis oleh PNM berlangsung dalam 5 fase secara berurutan, yaitu : 1) Fase pergerakan 2) Perlekatan 3) Penelanan ( ingestion ) 4) Degranulasi, dan 5) Pembunuhan ( killing ) Proses penelanan bakteri terjadi karena fagosit membentuk tonjolan pseudopodia, kemudian membentuk kantong yang mengelilingi bakteri dan mengurungnya, sehingga bakteri tertangkap dalam kantung ( vakuola ) yang disebut fagosom. Dinding fagosom dengan demikian terdiri atas dinding bagian luar fagosit. Selanjutnya granula intraselular yang berisi berbagai jenis enzim dan protein lain bergabung ( fusi ) dengan fagosom, lalu dalam waktu beberapa detik terjadi degranulasi dan respiratory burst. Enzim dan protein yang terdapat dalam granula mampu membunuh kuman, baik dengan proses oksidatif maupun non-oksidatif. Proses oksidatif ada yang berlangsung dengan mieloperoksidase dan ada yang tidak. Pada proses oksidatif yang berlangsung dengan mieloperoksidase reaksi didasarkan atas pengikatan H2O2 dengan Fe yang terdapat pada mieloperoksidase, membentuk kompleks enzim-substrat dengan daya oksidatif tinggi. Proses oksidatif menghasilkan berbagai zat toksik, misal asam hipoklorat ( HOCL ) yang merupakan oksidan yang paling kuat untuk membunuh bakteri. Pada proses oksidatif yang berlangsung tanpa mieloperoksidase, oksidasi masih dapat berlangsung karena adanya H2O2, superoksida dan radikal hidroksil, namun daya oksidatifnya tidak tinggi. Proses non-oksidatif berlangsung dengan bantuan berbagai protein sitolitik misalnya flavoprotein, sitokrom-b, laktoferin, lisozim, katepsin- G, difensin dan lain-lain. Mekanisme pembunuhan nonoksidatif dapat terjadi karena protein bermuatan positif yang ada dalam PNM dan magrofag dalam suasana pH alkalis bersifat toksik dan dapat merusak lapisan dinding kuman Gram-negatif. Namun ada juga jenis kuman lain yang justru dapat terbunuh pada saat pH dalam fagosom berubah menjadi asam, atau pada pH optimum untuk aktivitas lisozim. Dengan berbagai proses diatas seolah-olah PNM memproduksi anti mikroba yang berperan sebagai antibiotika alami ( natural antibiotics ). Berbagai faktor diluar PNM membantu PNM melaksanakan tugasnya; salah satu mediator di antaranya adalah interleukin 4 yang diketahui berfungsi sebagai activator neutrofil. 2. Reaksi spesifik Sel-sel dalam sistem imun yang bereaksi spesifik dengan mikroba dalam limfosit B yang memproduksi antibodi, limfosit T yang mengatur sintesis antibodi maupun sel T yang mempunyai fungsi efektor sitoksisitas langsung. Untuk berfungsi sel-sel ini dibantu oleh sel-sel lain yang memproses dan menyajikan mikroba serta melepaskan berbagai mediator, sehingga terjadi respon inflamasi yang dikehendaki. Untuk menimbulkan respon antibodi, sel B dan sel T harus berinteraksi satu dengan yang lain. Hal ini diawali dengan tertangkapnya mikroba oleh makrofag atau monosit yang berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC) yang menyajikan antigen mikroba kepada sel Th. Makrofag menangkap mikroba yang telah diopsonisasi dengan IgG, melakukan endositosis, memproses antigen lalu menampilkannya kembali (eksositosis) bersama-sama dengan ekspresi MHC kelas II kepada sel Th. Atas pengenalan itu sel Th merangsang sel B untuk memproduksi antibodi spesifik terhadap mikroba bersangkutan. 3. Interaksi antara mikroba dengan sistem imun Beberapa jenis bakteri mampu menghindarkan diri dari proses fagositosis dan respons imun dengan beberapa cara, yaitu: a) Memproduksi toksin yang menghambat kemotaksis b) Membentuk kapsul sehingga fagosit tidak dapat melekat c) Memproduksi molekul-molekul yang menghambat proses fusi lisosom dengan fagosom, atau substansi yang menghambat magrofag bereaksi dengan IFN d) Menggangu fungsi magrofag sebagai APC e) Memproduksi substansi ekstraseluler (slime) yang menghambat fagositosis oleh PNM. Disamping itu, infeksi bakteri dapat menyebabkan penurunan produksi sitokin pro-inflamatorik seperti TNF-α, IL-1β, IL-6 yang diperlukan melawan bakteri. Penglepasan sitokin secara berlebihan akibat rangsangan endotoksin bakteri gram negatif, dapat mengakibatkan DIC dengan konsekuensi gangguan pembekuan darah, perubahan permeabilitas vascular, kolaps sirkulasi dan nekrosis hemoragik. Mekanisme terjadinya kelainan ini diduga karena sitokin seperti TNF dan IL-1 menyebabkan ekspresi molekul adhesi pada endotel dan penglepasan tromboplastin jaringan, sehingga meningkatkan adhesi sel-sel dalam sirkulasi dan aktivasi faktor-faktor pembekuan. Sebaliknya sistem imun mempunyai banyak cara untuk melawan upaya bakteri di atas, agar fagositosis tetap dapat berlangsung. Berbagai jenis antibodi spesifik yang dimiliki seseorang sangat membantu hal ini. Pertama-tama antibodi berguna dalam menetralisir toksin. Antibodi dapat mengikat toksin demikian rupa sehingga toksin tidak dapat bereaksi dengan substrat. Dengan terikatnya toksin oleh antibodi, terbentuklah kompleks yang dapat dihancurkan oleh fagosit, khususnya apabila kompleks itu berukuran besar akibat bereaksi dengan anti-IgG atau anti-C3b yang terdapat sebagai autoantibodi alami. Opsonisasi bakteri dengan antibodi dan komplemen mempermudah fagosit melekat pada bakteri karena fagosit memiliki reseptor-reseptor untuk fragmen Fc IgG dan untuk C3b. Perlekatan bakteri pada permukaan mukosa dicegah dengan melapisi bakteri dengan IgA sekretorik (sIgA). Bila bakteri dapat mengatasi sawar IgA dan tetap dapat menembus mukosa, maka sistem imun berikutnya yang bekerja adalah IgE, terutama yang melekat pada mastosit. Proses selanjutnya adalah degranulasi mastosit dan penglepasan berbagai mediator sehingga terjadi reaksi inflamasi lokal. Sel-sel PNM yang tiba ditempat infeksi selanjutnya melakukan fagositosis, tetapi bila bakteri bersangkutan ternyata berukuran besar dan sulit difagositosis, bakteri dihancurkan melalui mekanisme sitotoksisitas dengan bantuan antibodi (antibody dependent cell mediated cytotoxicity, ADCC). Respon Imun terhadap Bakteri Intraselular Sejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos dan mengadakan replikasi di dalam sel pejamu. Yang paling patogen diantaranya adalah yang resisten terhadap degradasi dalam makrofag, contohnya mikrobakteria dan Listeria monocytogenes. Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme intraselular adalah fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif resisten terhadap degradasi dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu, mekanisme kekebalan alamiah ini tidak efektif dalam mencegah penyebaran infeksi sehingga sering menjadi kronik dan eksaserbasi yang sulit diberantas. Respon Imun Spesifik terhadap Bakteri Intraselular Respon imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama diperankan oleh Cell Mediated Immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini diperankan oleh sel limfosit T tetapi fungsi efektornya untuk eliminasi bakteri diperani oleh makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T terutama interferon a (IFN a). Respons imun ini analog dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Antigen protein intraselular merupakan stimulus kuat sel limfosit T. Beberapa dinding sel bakteri mengaktivasi makrofag secara langsung sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan, misalnya muramil dipeptida pada dinding sel mikrobakteria. Telah disebutkan di atas bahwa fungsi sel limfosit T pada CMI adalah produksi sitokin terutama IFN a. Sitokin IFN a ini akan mengaktivasi makrofag termasuk makrofag yang terinfeksi untuk membunuh bakteri. Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini akan menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang teraktivasi membentuk granuloma di sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebarannya. Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas sehingga menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Jadi, kerusakan jaringan ini disebabkan terutama oleh respons imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri intraselular. Contoh yang jelas dalam hal ini adalah infeksi mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau enzim yang secara langsung merusak jaringan yang terinfeksi. Paparan pertama terhadap Mycobacterium tuberculosis akan merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan proliferasi dalam sel fagosit. Sebagian ada yang mati dan sebagian ada yang tinggal (dormant). Pada saat yang sama, pada individu yang terinfeksi terbentuk imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi granulomatosa dapat terjadi pada lokasi bakteri persisten atau pada paparan bakteri berikutnya. Jadi, imunitas perlindungan dan reaksi hipersensitif yang menyebabkan kerusakan jaringan adalah manifestasi dalam respons imun spesifik yang sama. Terapi Imunoglobulin pada Infeksi Pada keadaan infeksi bakteri yang berat, dapat terjadi kelelahan respons imun (exhaustion) pada individu yang mempunyai respons imun yang normal dan keadaan ini dapat terjadi pelepasan berbagai mediator yang merangsang timbulnya syok septik. Dalam keadaan ini terapi penunjang dengan intravenous immunoglobuline (IVIG) dapat diberikan. Terapi IVIG ini secara pasif untuk membantu sistem imun tubuh dengan antibodi yang spesifik terhadap bakteri serta eksotoksin dan endotoksin yang sesuai. Distribusi subkelas IgG harus mirip seperti dalam plasma normal dan sanggup memicu eliminasi antigen secara imunologik. Pemberian IVIG dosis tinggi harus dilakukan dalam jangka pendek tanpa risiko penekanan terhadap sistem imun endogen. Terdapat 2 jenis preparat IVIG, yaitu yang dipecah oleh plasmin dan yang dipecah oleh pepsin. 1. Plasmin memecah molekul IgG 7S pada tempat spesifik, yaitu ikatan disulfida pada tempat CHI yang berseberangan dari rantai berat. Keadaan ini akan melepaskan dua fragmen Fab bebas dan satu fragmen Fc. Efek aktivasi komplemen tidak bertahan lama tetapi meninggalkan efek imunosupresif. Oleh karena itu, sering digunakan pada terapi penyakit autoimun. Hanya IgG 2 yang resisten terhadap plasma sehingga masih mengandung sekitar 25% IgG 2. 2. Enzim pepsin memecah keempat subkelas IgG pada sisi di bawah ikatan disulfida kedua rantai berat molekul imunoglobulin. Pemecahan oleh pepsin ini menghasilkan fragmen IgG dengan 2 rantai pengikat antigen yang masih berhubungan dengan ikatan disulfida yang disebut Fab2. Fragmen Fc-nya dengan cepat dimetabolisme sebagai polipeptida dan diekskresi melalui ginjal sehingga tidak mempunyai peran imunologi lagi. Oleh karena itu, preparat IVIG ini bebas dari fragmen Fc sehingga tidak menyebabkan supresi sistem imun endogen. Preparat IVIG yang hanya mengandung 2 fragmen F(ab)2 akan migrasi ke regio 5S pada sentrifugasi, mempunyai indikasi khusus dalam situasi klinis pada saat sistem imun mengalami kelelahan karena infeksi akut yang berat. Oleh karena itu, pengobatan IVIG 5S dosis tinggi diperlukan untuk menunjang mekanisme kekebalan pada pasien yang mengalami gangguan imunitas. Dibandingkan dengan IgG 7S yang mempunyai waktu paruh sekitar 20 hari, IgG 5S mempunyai waktu paruh lebih pendek yaitu 12-36 jam sehingga tidak akan mengikat reseptor Fc yang menyebabkan imunosupresi. B. Respon imun terhadap virus Virus mempunyai sifat-sifat khusus, diantaranya dapat menginfeksi jaringan tanpa menimbulkan respon inflamasi, dapat berkembang biak dalam sel penjamu tanpa merusaknya, ada kalanya menganggu fungsi khusus sel yang terinfeksi tanpa merusaknya secara nyata dan kadang–kadang virus merusak sel atau menganggu perkembangan sel kemudian menghilang dari tubuh. Sebagai contoh, golongan virus herpes terdiri atas sedikitnya 60 jenis, 5 diantaranya sering menyebabkan infeksi terhadap manusia, yaitu HSV1, HSV2, VZV, CMV dan EBV. Patogenesis infeksi dengan virus ini secara umum adalah bahwa transmisi terjadi melalui kontak langsung, kecuali pada CMV yang dapat ditularkan melalui transfusi dan transplantasi, dan bahwa setelah infeksi primer virus herpes umumnya menetap dalam tubuh. Virus harus menempel dahulu pada sel penjamu sebelum dapat masuk tubuh, hidup, berkembang biak dan menimbulkan infeksi. Antibodi dalam sirkulasi (IgG) akan mencegah virus menempel dan hal ini merupakan ppencegahan penting terhadap infeksi. IgA berperan di saluran napas dan cerna, dapat mencegah virus (seperti polio) dan mikroba masuk tubuh melalui mukosa. Infeksi virus biasanya dimulai dengan invasi setempat pada permukaan epitel. Selanjutnya virus masuk ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan fase viremia dan kemudian invasi sel alat sasaran, seperti kulit, susunan saraf dan sebagainya. Tubuh memerangi virus yang mempunyai berbagai fase infeksi melalui bermacam-macam cara. Virus berkembang biak dalam sel sehingga tidak lagi terpajan dengan antibodi dalam sirkulasi. Bila virus menginfeksi sel, protein virus akan pecah di dalam sel menjadi peptida-peptida spesifik yang kemuudian diekspresikan dengan bantuan molekul MHC kelas I di permukaan sel. Dengan demikian peptida tersebut akan dikenal oleh sel T Helper yang selanjutnya mengaktifkan sel efektor CTC atau T sitotoksik yang dapat menghancurkan sel terinfeksi virus dengan direk (lethal hit). Sel NK yang mempunyai reseptor Fc (Fcγ-R) berperan pada ADCC. Seperti halnya respon imun terhadap mikroorganisme yang lain, respon imun terhadap infeksi virus juga melibatkan respon non-spesifik dan spesifik. Ada 2 mekanisme utama respon non-spesifik terhadap virus, yaitu: 1) infeksi virus secara langsung merangsang produksi IFN oleh sel-sel yang terinfeksi: IFN berfungsi menghambat replikasi virus: 2) sel NK melisiskan berbagai jenis sel terinfeksi virus. Sel NK mampu melisiskan sel terinfeksi virus, walaupun virus menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC1, karena sel NK cenderung diaktivasi oleh sasaran yang MHC-negatif. Gambar I. Mekanisme yang berperan pada pertahanan terhadap berbagai fase infeksi virus 1. Interferon dan IgA merupakan pertahanan pertama pada epitel permukaan. 2. Beberapa virus berkembang dalam epitel permukaan. Ada virus yang mempunyai lebih dari satu masa viraemi dan selama ada dalam darah virus tersebut rentan terhadap antibodi. 3. Virus di dalam sel diserang berbagai komponen sistem imun humoral dan seluler dan atau antibodi melalui ADCC. 4. Pada umumnya pemusnahan virus di dalam sel menguntungkan tubuh, tetapi reaksi imun yang terjadi dapat menimbulkan pula kerusakan jaringan tubuh yang disebut imunopatologik. Gambar II. Mekanisme pertahanan terhadap virus Gambar III. Siklus hidup virus yang umum 1. Virion diabsorpsi sel penjamu melalui reseptor. 2,3 Virus menembus sel dan melepaskan mantelnya. 4. Infeksi terjadi melalui beberapa fase yang bergantung pada jenis virus. Berbagai komponen virus dibentuk di dalam sitoplasma dan atau nukleus sel. Selanjutnya komponen-komponen tersebut menyatukan diri sehingga terbentuk virus yang matang. 5. Virus dilepas melalui budding membran sel. 6. Virus dapat pula menyebar dari sel satu ke sel yang lain melalui kontak tanpa adanya virus yang dilepas ke luar sel. 7. Beberapa virus tetap tinggal di dalam sel yang dapat diaktifkan sewaktu-waktu. 8. Beberapa virus mampu menyatukan bahan genetiknya dengan genom sel pejamu dan tinggal laten. Selanjutnya sel menjadi produktif. 9. Atau pada keadaan tertentu melalui transformasi sel menjadi neoplastik. 10,11 Beberapa infeksi virus terjadi abortif, dalam hal ini, sel yang mengandung virus akhirnya mati juga. Untuk membatasi penyebaran virus dan mencegah infeksi, sistem imun harus mampu menghambat masuknya virion ke dalam sel dan memusnahkan sel yang terinfeksi. Antibodi spesifik mempunyai peran penting pada awal terjadinya infeksi, dimana ia dapat menetralkan antigen virus dan melawan virus sitopatik yang dilepaskan oleh sel-sel yang mengalami lisis. Peran antibodi dalam menetralkan virus terutama efektif untuk virus yang bebas atau virus dalam sirkulasi. Proses netralisasi virus dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya dengan menghambat cara perlekatan virus terhadap reseptor yang terdapat pada permukaan sel, sehingga virus tidak dapat menembus membran sel, dengan demikian replikasi virus dapat dicegah. Antibodi dapat juga menghancurkan virus dengan cara aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau menyebabkan agregasi virus sehingga mudah difagositosis dan dihancurkan melalui proses yang sama seperti diuraikan di atas. Antibodi dapat mencegah penyebaran virus yang dikeluarkan dari sel yang telah hancur. Tetapi seringkali antibodi tidak cukup mampu untuk mengendalikan virus yang telah mengubah struktur antigennya dan yang melepaskan diri ( budding off ) melalui membran sel sebagai partikel yang infeksius, sehingga virus dapat menyebar ke dalam sel yang berdekatan secara langsung. Jenis virus yang mempunyai sifat seperti ini, diantaranya adalah virus oncorna ( termasuk di dalamnya virus leukemogenik ), virus dengue, virus herpes, rubella dan lain-lain. Walaupun tidak cukup mampu menetralkan virus secara langsung, antibodi dapat berfungsi dalam reaksi ADCC. Disamping respon antibodi, respon imun selular merupakan respon yang paling penting, terutama pada infeksi virus yang non-sitopatik. Respon imun seluler melibatkan T-sitotoksik, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I. Peran IFN sebagai anti-virus cukup besar, khususnya IFN-α dan IFN-β. Dampak anti-virus dari IFN dapat terjadi melalui: a) Peningkatan ekspresi MHC kelas I b) Aktivasi sel NK dan makrofag c) Menghambat replikasi virus d) Menghambat penetrasi virus ke dalam sel maupun budding virus dari sel yang terinfeksi Seperti halnya pada infeksi dengan mikroorganisme lain, sel T sitotoksik selain bersifat protektif juga dapt merupakan penyebab kerusakan jaringan, misalnya yang terlihat pada infeksi dengan virus LCMV (lynphocyte choriomeningitis virus) yang menginduksi inflamasi pada selaput susunan saraf pusat. Pada infeksi virus makrofag juga dapat membunh virus seperti hanya ia membunuh bakteri. Tetapi pada infeksi dengan virus tertentu, makrofag tidak membunuhnya bahkan sebaliknya virus memperoleh kesempatan untuk replikasi di dalamnya. Telah diketahui bahwa virus hanya dapat berkembang biak intraseluler karena ia memerlukan DNA-penjamu untuk replikasi. Akibatnya ialah bahwa virus selanjutnya dapat merusak organ-organ tubuh yang lain terutama apabila virus itu bersifat non-sitopatik ia menyebabkan infeksi kronik dengan menyebar ke sel-sel lain. Pada infeksi sel secara langsung di tempat masukya virus (port d’entre), misalnya di paru, virus tidak sempat beredar dalam sirkulasi dan tidak sempat menimbulkan respons primer, dan antibodi yang dibentuk seringkali terlambat untuk mengatasi infeksi. Pada keadaan ini respons imun seluler mempunyai peran lebih menonjol, karena sel T sitotoksik pada penderita yang tersensitisasi bersifat sitotoksik lansung terhadap sel yang terinfeksi virus. Sel T sitotoksik mampu mendeteksi virus melalui reseptor terhadap antigen virus sekalipun struktur virus telah berubah. Sel T sitotoksik kurang spesifik dibandingkan antibodi dan dapat melakukan reaksi silang dengan spektrum yang lebih luas. Namun ia tidak dapat menghancurkan sel sasaran yang menampilkan MHC kelas I yang berbeda. Beberapa jenis virus dapat menginfeksi sel-sel sistem imun sehingga menganggu fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus influensa, piloi, dan HIV. Sebagian besar infeksi virus membatasi diri sendiri (self limiting), pada sebagian lagi menimbulkan gejala klinil atau subklinik. Penyembuhan dari infeksi virus umumnya diikuti imunitas jangka panjang. Gambar IV. Skema infeksi virus dan respons imun menunjukkan berbagai kemungkinan. Daftar Pustaka: Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
makssh sangat bermanfaat
BalasHapussangat detali penjelasannya, tapi boleh diklarifikasi apa itu kepanjangannya PNM..?
BalasHapus