Jumat, 01 September 2017

Pertanyaan

Naifnya diri ini karena berharap cukup satu kali saja untuk melakukan proses. Bertukar biodata, bertemu, lalu cocok kemudian lanjut ke jenjang berikutnya. Pernikahan. Sesederhana itu.

Nyatanya, aku pun butuh jatuh berkali kali untuk berada di posisi karir ini. Pekerjaan yang dicaci namun dicari. Gagal di tes pertama, Gagal di nilai kewarganegaraan, bahkan gagal di tahap akhir wawancara. Ya, itu proses. Pahit. Namun ketika berhasil akan terasa sangat manis.

Begitupun proses taaruf ini. Ah, aku selalu tidak mampu untuk tidak melibatkan perasaan. Dan dalam proses ini pun aku melibatkannya. Perasaan kecewa. Mengapa harus memulai jika belum ada kesiapan? Mengapa harus memulai jika tahu dalam waktu dekat belum siap untuk ke jenjang berikutnya? Mengapa harus memulai jika target menikah masih jauh di bulan sana? Pertanyaan yang aku sangkakan padanya.

Waktu berlalu. Kemudian aku menyadari. Bahwa pertanyaan itu bukanlah untuknya. Melainkan untukku sendiri. Aku yang meragu. Belum yakin saat memulai proses ini. Niat dan kesiapan. Aku mencurigai niatku sendiri akan kesiapan menikah. Apakah ini saat yang tepat untukku memulai proses? Bukan karena satu persatu sahabatku mulai menggenap? Apakah ini hanya euforia sesaat?

Ternyata pertanyaan itu bukan hanya untukmu. Melainkan juga aku.
Kamu yang sedang berada di padang arafah,
Bolehkan aku titip doa,
Ya Allah aku ingin menikah...

9 Dzulhijjah 1438 H